Gerakan pembaruan Islam yang telah berusia lebih dari satu abad, Muhammadiyah bukan sekadar organisasi keagamaan, Dalam kurun waktu tersebut, Muhammadiyah telah mencetak banyak tokoh nasional, memajukan pendidikan umat, memelopori pelayanan kesehatan, hingga menyuarakan gagasan Islam yang berkemajuan. di tengah pesatnya perubahan zaman, tantangan baru menghadang. Salah satu tantangan yang paling krusial adalah menurunnya kualitas dan keberlanjutan kaderisasi di tubuh Muhammadiyah. Di sinilah pentingnya penguatan perkaderan sebagai strategi jangka panjang untuk memastikan keberlangsungan, daya tahan, dan daya saing organisasi ini.
Walaupun secara struktural Muhammadiyah memiliki sistem
perkaderan, seperti Darul Arqam, Baitul Arqam, Pelatihan Instruktur, dan
sejenisnya, faktanya banyak wilayah dan cabang mengalami stagnasi dalam
merekrut, membina, dan mengembangkan kader. Bahkan, tidak sedikit pimpinan di
tingkat ranting hingga wilayah mengeluhkan "langkanya kader muda
militan" yang siap mengisi ruang-ruang strategis organisasi Muhammadiyah
itu sendiri, Sehingga krisis kader tersebut berdampak terhadap Amal Usaha yang
ada di muhammadiyah, kita melihat bahwa banyak amal usaha berjalan dengan
sendirinya tanpa ada perhatian muhammadiyah itu sendiri.
Permasalahan ini sering mencuat dalam berbagai forum
Musyawarah yang ada di Dalam Muhammadiyah baik itu Musyawarah Ranting hingga
Muktamar. Persoalan ini juga kerap dibicarakan secara informal oleh para
aktivis senior yang khawatir bahwa roda organisasi akan kehilangan pelumasnya
jika kaderisasi tidak segera diperbaiki. Kesenjangan antar generasi,
fragmentasi pemahaman ideologis, serta menurunnya minat generasi muda untuk
berkhidmat dalam organisasi adalah gejala-gejala krisis yang nyata.
Pengkaderan di Muhammadiyah senantiasa mengalami stagnasi,
ada beberapa hal yang melatarbelakangi hal tersebut, Pertama, perkaderan
cenderung formalistik dan elitis. Banyak pelatihan kader hanya menjadi
rutinitas administratif tanpa sentuhan ideologis yang kuat atau praksis gerakan
yang membumi. Peserta datang, mendengarkan ceramah, lalu pulang tanpa
transformasi yang mendalam. Hal ini menjadikan perkaderan tidak menyentuh
jantung keimanan, keintelektualan, dan aktivisme kader.
selanjutnya, kurangnya integrasi antara amal usaha dan
proses kaderisasi. Banyak kader muda bekerja di amal usaha Muhammadiyah
(sekolah, rumah sakit, universitas), namun tidak diberdayakan dalam struktur
organisasi. Bahkan, tidak sedikit guru di sekolah Muhammadiyah yang tidak
mengenal AD/ART Muhammadiyah, tidak aktif di organisasi otonom, bahkan tidak
merasa menjadi bagian dari gerakan.
Kemudian yang selanjutnya, dominasi senioritas yang tidak
produktif. Di beberapa tempat, kaderisasi dibatasi oleh politik internal yang
mengedepankan loyalitas personal ketimbang kualitas kader. Kader muda yang
potensial kadang tersingkir karena dianggap “kurang sopan” atau “tidak sabar”,
padahal mereka membawa semangat perubahan dan inovasi.
Seterusnya, kurangnya adaptasi dengan realitas digital dan
budaya generasi Z. Dalam dunia yang serba cepat dan digital, perkaderan masih
banyak terjebak pada pendekatan lama. Padahal, generasi muda kini lebih akrab
dengan platform daring, budaya visual, dan pendekatan berbasis komunitas.
Revitalisasi perkaderan bukanlah pilihan, melainkan
keharusan. Tanpa pembaruan sistem kaderisasi, Muhammadiyah bisa mengalami
"kemunduran dalam kemapanan", yaitu situasi di mana organisasi
terlihat mapan secara struktur tetapi rapuh secara ideologis dan regenerasi.
Beberapa alasan mengapa revitalisasi perkaderan menjadi
suatu hal yang penting dan mendesak. Pertama, revitalisasi ini untuk menjawab
tantangan global dan nasional. Dunia sedang mengalami perubahan geopolitik,
krisis iklim, revolusi industri 5.0, hingga transformasi digital yang
disruptif. Umat Islam dan bangsa Indonesia membutuhkan kader-kader Muhammadiyah
yang visioner, berwawasan global, namun tetap berakar kuat pada nilai Islam dan
keindonesiaan. Tanpa perkaderan yang kontekstual dan adaptif, sulit mencetak
kader seperti ini.
Kedua, revitalisasi memastikan proses regenerasi
kepemimpinan. Sebagai organisasi kader, Muhammadiyah tidak boleh kekurangan
stok pemimpin. Regenerasi tidak bisa dibiarkan terjadi secara alamiah, tapi
harus dirancang dengan cermat. Revitalisasi perkaderan akan menjadi kunci untuk
memastikan kesinambungan kepemimpinan dari tingkat ranting hingga pusat.
Ketiga, revitalisasi menumbuhkan militansi ideologis. Dalam
era post-truth dan banjir informasi, kader Muhammadiyah harus punya landasan
ideologis yang kokoh. Revitalisasi perkaderan perlu menekankan pentingnya paham
Islam berkemajuan, keadaban publik, dan etos dakwah yang inklusif.
Keempat, revitalisasi menghidupkan amal usaha sebagai kawah
candradimuka. Amal usaha tidak boleh hanya menjadi ladang ekonomi, tapi juga
wahana kaderisasi. Revitalisasi perkaderan perlu mengintegrasikan orientasi
ideologis dalam manajemen amal usaha agar terjadi sinergi antara gerakan dan
institusi.
Revitalisasi perkaderan tidak cukup dengan seruan moral. Ia
harus diwujudkan dalam kebijakan, struktur, metode, dan budaya baru yang lebih
relevan dan membebaskan. Terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh
persyarikatan dalam proses revitalisasi perkaderan ini.
Strategi pertama ialah reformulasi kurikulum dan metode
perkaderan. Kurikulum perkaderan perlu direvisi agar lebih reflektif, dialogis,
dan aplikatif. Pendekatan andragogis (pendidikan orang dewasa), experiential
learning (belajar dari pengalaman), dan penggunaan teknologi digital harus
diutamakan. Materi-materi klasik tetap penting, tetapi harus dikontekstualisasi
dengan isu kontemporer seperti ekologi Islam, teknologi, ekonomi syariah,
gender, dan pluralisme.
Strategi kedua ialah membangun sistem kaderisasi berbasis
data. Revitalisasi perkaderan memerlukan sistem informasi kader yang akurat dan
terintegrasi dari pusat hingga ranting. Dengan big data kader, organisasi dapat
memetakan potensi, minat, dan kompetensi kader secara tepat, sekaligus
melakukan evaluasi dan rotasi kader secara objektif.
Strategi berikutnya ialah sinergi antara organisasi otonom,
amal usaha, dan struktur persyarikatan. Organisasi otonom seperti IPM, IMM, NA,
Tapak Suci, hingga Pemuda Muhammadiyah harus menjadi ruang aktualisasi kader
muda secara berjenjang. Namun perlu ada kebijakan bersama untuk menjamin
kaderisasi lintas struktur. Amal usaha juga harus disinergikan sebagai media
pembinaan ideologis, bukan semata lembaga teknokratis.
Revitalisasi kultur organisasi menjadi salah satu strategi
yang harus dilakukan oleh persyarikatan. Kultur senioritas yang menghambat
perlu dikikis. Digantikan dengan budaya mentoring, kolaborasi antar generasi,
dan kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Kader muda perlu diberikan
ruang, kesempatan, dan kepercayaan untuk memimpin tanpa merasa terhambat oleh
tradisi hierarkis.
Strategi kelima ialah digitalisasi perkaderan. Pandemi COVID-19 menjadi pelajaran bahwa pelatihan dan perkaderan daring bukan hal tabu. Muhammadiyah perlu membangun platform digital perkaderan yang interaktif, open access, dan modular agar siapa pun bisa belajar dan tumbuh di mana saja.
Strategi terakhir ialah inklusivitas dan penguatan jaringan
kader perempuan. Revitalisasi perkaderan harus inklusif, termasuk terhadap
perempuan. Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah perlu memperkuat peran strategis
kader perempuan dalam isu-isu publik. Kader perempuan Muhammadiyah tidak hanya
berkutat di ranah domestik atau sosial, tapi juga harus tampil di ruang-ruang
strategis pengambilan kebijakan.
Muhammadiyah dibangun di atas semangat tajdid—pembaruan yang
berakar pada pemurnian akidah dan pemajuan kehidupan umat. Spirit ini harus
terus dihidupkan dalam perkaderan. Tanpa kader yang ideologis, cakap, dan
progresif, gerakan ini hanya akan menjadi organisasi sosial-keagamaan yang
statis, kehilangan daya transformasi.
Revitalisasi perkaderan bukan hanya soal mengganti metode,
tetapi soal membangun kesadaran kolektif bahwa kader adalah investasi jangka
panjang. Tidak ada kemajuan tanpa kader. Tidak ada kader tanpa perkaderan yang
kuat.
Sudah waktunya Muhammadiyah membangun paradigma baru dalam
perkaderan: dari rutinitas menjadi gerakan pembebasan; dari seremonial menjadi
transformasional; dari birokrasi menjadi aksi ideologis. Hanya dengan begitu,
cita-cita Indonesia yang berkemajuan dan Islam yang rahmatan lil ‘alamin akan
terwujud melalui tangan-tangan kader Muhammadiyah.
Penulis : Wan Firmansyah
Di adopsi dari tulisan Prof Dr Mohammad Nur Rianto Al Arif,
MSi,
